Arab Saudi Hibahkan Rp4,8 Triliun untuk Aceh
JAKARTA (Media): Rakyat dan pemerintah Arab Saudi menyumbang US$530 juta (sekitar Rp4,8 triliun) untuk korban gempa dan gelombang tsunami di Aceh dan Sumatra Utara.
Semua sumbangan itu berbentuk hibah.
Dari total hibah itu, sebesar US$280 juta berupa uang tunai yang
terdiri dari sumbangan masyarakat sebesar US$250 juta dan dari
pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebesar US$30 juta. Sementara US$250 juta sisanya berbentuk makanan, obat-obatan, selimut, dan alat-alat kedokteran.
"Semua sumbangan itu merupakan hibah (pemberian), bukan utang yang harus dibayar. Sumbangan berupa hibah ini tentu saja lebih baik daripada sumbangan yang berupa utang. Karena utang ini di kemudian hari akan menjadi beban masyarakat Indonesia. Meskipun utang itu bersifat pinjaman lunak (soft loan), rakyat Indonesia tetap harus membayarnya," ungkap Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin seusai pertemuan antara MUI dan 17 duta besar negara-negara Islam di Jakarta, kemarin.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan bahwa sebaiknya bantuan luar negeri untuk korban gempa dan tsunami berbentuk hibah, bukan pinjaman. Pemerintah, kata Presiden, menghindari adanya pinjaman (utang) baru untuk proses pemulihan Aceh pascagempa dan tsunami.
Menurut Din, sumbangan sebanyak itu baru dari satu negara, yakni
Arab Saudi. Beberapa negara Timur Tengah lainnya pun berkomitmen untuk membantu masyarakat korban bencana di Aceh dan Sumut. Bahkan IDB (Islamic Development Bank) akan mengucurkan dana sebesar US$300 juta. Hal ini, kata Din, menunjukkan bahwa solidaritas di antara negara-
negara Islam terjalin sangat erat.
"Jadi, sesungguhnya negara-negara Islam memiliki komitmen yang
sangat kuat untuk membantu masyarakat korban gempa. Besarnya bantuan ini bisa diartikan sebagai sangkalan terhadap opini yang berkembangbahwa bantuan dari negara-negara Islam sangat kecil. Ini terjadi akibat kurangnya publikasi."
Oleh sebab itu, sambung Din, yang tidak boleh diabaikan oleh kita
adalah pada proses pengawasan. Artinya, semua sumbangan bagi korban gempa dan tsunami, baik yang berasal dari negara-negara Islam maupun negara lainnya harus dilakukan secara transparan. Dengan demikian, akan menghilangkan kecurigaan dari berbagai kalangan terhadap pemerintah. "Pemerintah harus transparan menjelaskan semua sumbangan yang masuk ke Indonesia. Sebab, sumbangan itu adalah amanah yang harus disampaikan kepada para korban sebagai pihak yang berhak," tegas Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini.
Tim rehabilitasi dan rekonstruksi
Sementara itu, sebagai upaya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Sumatra Utara pascagempa dan tsunami, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah membentuk Tim Perencanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Sumut. Tim ini bertugas mendampingi Pemerintah Provinsi (Pemporv) Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemprov Sumut dalam mengoordinasikan penyusunan rehabilitasi dan rekonstruksi di kedua wilayah tersebut.
Tim beranggotakan pejabat atau staf dari instansi pemerintah terkait di tingkat pusat dan dibantu beberapa tenaga ahli relawan dari lembaga internasional, baik yang bersifat multilateral maupun
bilateral. Ada lima kegiatan yang akan dilakukan oleh tim ini dalam
waktu dekat.
Kegiatan itu, yakni mengevaluasi data kerusakan fisik dan nonfisik
dari berbagai sumber; memadukan rencana rehabilitasi dan
rekonstruksi dari berbagai instansi; menampung masukan dari tokoh
masyarakat, tokoh agama, tokoh budaya, LSM, cendekiawan, kelompok profesi, serta perguruan tinggi untuk menjaring aspirasi dan harapan masyarakat.
Tim juga menyusun kebutuhan biaya rehabilitasi dan rekonstruksi.
Selain itu, tim juga merumuskan langkah-langkah awal pelaksanaan di lapangan termasuk penyaluran pembiayaan, pengawasan, dan organisasi pelaksana rekonstruksi. Laporan tim, antara lain akan menjadi masukan untuk sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) pada 18 Januari mendatang. (Dud/E-1)